TOTEM DAN TABU


TOTEM DAN TABU
Disusun guna memenuhi tugas UTS mata kuliah perbandingan agama
Dosen pengampu: Imamul Huda, M.Pd.I.





Disusun oleh:
Muhammad Abdul Kholiq      111-14-349
Rapik                                       111-14-351
Saepul Yusup                          111-14-354


FAKULTAS TARBIYAH IMU KEGURUAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2017





BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting dari pada aspek-aspek budaya yang dipelajari oleh para antropolog dan para ilmuan sosial lainnya. Sangat penting bukan saja yang dijumpai pada setiap masyarakat yang sudah diketahui, tetapi juga karena penting saling pengaruh-mempengaruhi antara lembaga budaya satu dengan lainnya. Didalam agama itu dijumpai ungkapan materi budaya dalam tabi’at manusia serta dalam sistem nilai, moral dan etika. Agama itu saling pengaruh-mempengaruhi dengan sistem organisasi kekeluargaan, perkawinan, ekonomi, hukum dan politik. Agama juga memasuki lapangan pengobatan, sains, dan teknologi. Serta agama itu telah memberikan inspirasi untuk memberontak dan melakukan peperangan dan terutama telah memperindah dan memperhalus karya seni.
Keadaan fenomena agama yang ruwet serta segala refleksinya didalam sejumlah aspek-aspek kehidupan lainnya, telah menarik perhatian para sarjana dari berbagai disiplin. Seperti para sejarawan, filosof, linguist, dan para psikolog, masing-masing telah mengkaji agama menurut metode mereka sendiri. Sehingga timbullah pertanyaan dapatkah antropologi memberikan sumbangan yang berarti terhadap pemahaman agama yang lebih jauh. Antropologi itu mengkaji tentang manusia serta budayanya. Ilmu ini bertujuan untuk memperoleh suatu pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk. Baik dimasa-masa lampau maupun dimasa sekarang ini, baik sebagai organisme biologis maupun sebagai makhluk berbudaya. Oleh karena itu antropolog mengkaji sifat-sifat khas fisik manusia sertasifat khas budaya yang dimilikinya.
Dari permasalahan diatas dalam tulisan atau makalah ini akan dipaparkan mengenai Totem dan Tabu.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan totem dan tabu sebagai tingkah laku animistis?
2.      Bagaimanakah aspek-aspek sosial dalam totem dan tabu?
3.      Bagaimanakah aspek ritual dalam totem dan tabu?
C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan totem dan tabu dalam hubungannya dengan pola tingka laku animistis.
2.      Untuk mengetahui aspek-aspek sosial dalam totem dan tabu.
3.      Untuk mengetahui aspek ritual dalam totem dan tabu.
























BAB II
PEMBAHASAN
A.    ANIMISME
1.      Pengertian Animisme
Animisme berasal dari kata anima, animae dari bahasa latin ‘animus’ dan bahasa yunani ‘avepos’, dalam bahasa sanskerta disebut ‘prama’ dalam bahsa ibrani disebut ‘ruah’ yang artinya ‘napas’ atau ‘jiwa’.[1] Menurut kuncoroningrat bahwa animisme adalah kepercayaan yang menganggap bahwa semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan ghaib atau memiliki roh yang berwatak baik mapun buruk.[2]
Faham animisme menunjukan kepercayaan akan adanya roh-roh halus yang berdiri lepas dari manusia dan yang campur tangan dalam urusan insani. Animisme itu mengisi kekosongan iman pada tuhan dengan mengkhayalkan dewi-dewi dan roh pengantar.[3] Dengan kepercayaan tersebut mereka beranggapan bahwa disamping semua roh-roh yang ada, terdapat roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan agar terhindar dari roh tersebut mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan upacara disertai sesaji. Upacara tersebut dilakukan oleh masyarakat pada zaman animisme dan diindonesia identik dengan masyarakat jawa. Upacara tersebut dilakukan agar keluarga mereka terlindung dari roh jahat. Itu semua mereka lakukan karena mereka percaya bahwa roh-roh leluhur mampu memberikan sabda ramalan kepada anak keturunan mereka yang selalu meminta saran pada saat dalam keadaan kesulitan.[4]
Menurut teori animisme, ide tentang roh mula-mula dikemukakan dengan pemahaman sederhana tentang adanya kehidupan ganda yaitu pada waktu terjaga dan pada waktu tidur.  Mereka beranggapan bahwa kalau mereka bermimpi mengunjungi suatu tempat tertentu, mereka yakin benar bahwa mereka sungguh-sungguh  berada berkunjung keemat tersebut. Mereka beranggapan bahwa selama tertidur, mereka bepergian menembus angkasa. Demikian juga halnya kalau mereka berbicara dengan seseorang yang sungguh-sungguh dikenalnya. Membicarakan teori animisme tidak dapat lepas dari adanya dua keyakianan kepercayaan orang-orang primitif yaitu keyakinan kepercayan akan adanya jiwa pada setiap makhluk yang dapat terus berada sekalipun makhluk tadi sudah meninggal, atau tubuhnya sudah hancur, dan keyakinan adanya banyak roh yang berpangkat-pangkat dari yang terendah sampai yang tertinggi.
2.      Sifat-Sifat Khas Animisme
Dalam upacara animisme terdapat suatu susunan keagamaan dengan suatu rangkaian upacara-upacara dan bentuk-bentuk sesembahan yang melukiskan adanya makhluk halus, roh-roh, dan jiwa-jiwa yang mempunyai keinginan dan mempunyai kehendak. Selain itu, dalam animisme juga kita dapatkan adanya daya kekuatan yang bekerja dalam manusia karena keinginan dan kehendak tadi.
Dalam animisme juga kita dapatkan kepercayaan bahwa makhluk-makhluk halus atau roh-roh tadi ada disekitar manusia baik dihutan, diladang, dikebun, di air, di pepohonan, di gunung, di rumah, dan lainnya. Roh-roh ini bersifat supra manusiawi yang sangat mempengaruhi dan sangat menentukan kehidupan manusia. Karenaya masyarakat primitif menyadari bahwa pada keinginan manusia sendiri ada keinginan lain.[5]
3.      Ciri-Ciri Animisme
a.         Nature Worship
Bangsa-bangsa rbakala pada umumnya adalah mempecayai roh serta kekekalannya. Paedah matahari, bulan, api, dan sebagainya teah mereka salah artikan. Mesir kuno 5000-an tahun silam adalah penganut animisme. Sebegitu jauh zaman berlalu namun bekas-bekas kepercayaan tersebut ditanah air kita  dewasa ini masih banyak ditemukan. Ada bekas peninggalan beberapa patung dewa, seperti: pemujaan dewa surya, pertiwi, agni, dan lainnya adalah menjadi saksi.[6]
b.         Fetish Worship
Fetish (portugal: fetico) yakni tangkal, atau azimat. Fetish ada hubungannya dengan dinamisme. Fetishme berkeyakinan bahwa dengan menggunakan benda-benda tertentu, pemakainya akan terhindar dari malapetaka.
c.         Animal Worship
Animal Worship adalah kepercayaan terhadap binatang. Bahwa orang purbakala beranggapan bahwa binatang-binatang tertentu memiliki kekuatan. Hewan yang mereka percayai seperti lembu/sapi, buaya, ular, babi, dan bahkan tikus.
d.        Anchestor Worship
Memuja roh nenek moyang hampir saja dialami oleh berbagai bangsa dimuka bumi ini. Di indonesia sendiri sampai sekarang ini masih banyak bekas-bekasnya. Keyakinan tentang roh orang meninggal masih tetap berkunjung pada waktu-waktu tertentu secara teratur.[7]

B.     TOTEM DAN TABU
1.      Pengertian Totem dan Tabu
Kata ‘totem’ berasal dari ‘ototeman’ yang dalam bahasa dan dialek suku ojibwa dari Amerika Utara berarti kekerabatan dan kekeluargaan. Kata ini sering dipakai untuk mengungkapkan adanya suatu hubungan antara manusia dan binatang yang bersifat kekeluargaan. Kata ‘ote’ itu tersendiri mempunyai pengertian pertalian keluarga dan kerabatan antara saudara laki-laki maupun perempuan, hubungan kelompok karena kelahiran atau pengangkatan kekeluargaan secara kolektif dan dihubungkan oleh tali persaudaraan, dimana membawa pengertian tidak saling mangawini. Pada beberapa suku primitif terbagi dalam beberapa klan atau kekerabatan yang masing-masingnya menggunakan nama-nama binatang tertentu, nama-nama tanaman dan nama-nama objek-objek alam lainnya. Mereka memperlihatkan adanya sikap-sikap khusus terhadap makhluk-makhluk atau benda-benda ini.[8]
Di dalam ilmu agama hal tersebut disebut dengan totemisme. Totem adalah sejenis roh pelindung manusia yang berwujud binatang. Totemisme dapat dibedakan lagi atas totemisme perseorangan, dimana seekor binatang menjadi pelindung orang tertentu, dan totemisme golongan, dimana jenis binatang tertentu dianggap dekat hubungannya dengan suatu golongan atau suku bangsa tertentu. Tetapi di dalam kedua hal itu yang menjadi pokok ialah semacam persekutuan, partisipasi, saling menjadi bagian antara manusia dan binatang, didalam persekutuan mana orang mengalami suatu daya kekuasaan yang luar biasa.[9]
Sedangkan ‘tabu’ atau ‘taboo’ atau tapu adalah suatu kata yang berasal dari polinesia ‘ta’ yng artinya tanda dan ‘pu’ yang artinya telah melampaui. Tabu  biasanya dikaitkan dengan totem. Tabu digunakan untuk pengertian yang ditetapkan pada adanya larangan-larangan tertentu, baik terhadap orang, barang atau objek tertentu, binatang tertentu, karena akan menimbulkan kekuatan dan bahaya. Mengenai penggunaan kata tadi, menurut Cook dalam bukunya zakiah darajat, ‘taboo’ banyak digunakan pada suku-suku Tonga, ‘tapu’ banyak digunakan oleh suku-suku dihawai dan pada suku-suku melanesia banyak menggunakan ‘tambu’. Kata ‘tabu’ banyak dikaitkan penggunaannya dengan orang-orang mati.[10]
Di Indonesia, terutama di timor terdapat ‘tabu’ yang diungkapkan dengan ‘pali’ atau ‘pemali’ yang biasanya diterapkan sebagai lawan dari adat kebiasaan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Ada bermacam-macam pali atau pemali yang dianggap mengitari hidup manusia. Pali inilah yang dianggap sebagai petunjuk-petunjuk tentang adanya bahaya-bahaya dalam perjalanan hidup manusia. Tabu erat sekali hubungannya dengan mana.  Orang yang memiliki mana dapat memberikan pengertian adanya suatu atau larangan bagi orang lainnya yang lebih sedikit mananya baik menyentuh maupun menggunakannya karena takut akan tertimpa hukuman dari supra-alami. Suatu contoh yang sangat menarik adalah tabu seperti yang dikemukakan oleh Ralph Linton dalam artikelnya “Marguesen Culture”, dalam buku Abram Kardiner, The Individual and His Society.[11]
Dalam perkembanganny, tabu merupakan suatu term yang pentik dalam menginterpretasikan tentang agama dalam konotasinya pada larangan yang kemudian merupakan pemahaman pemilihan yang sakral dari yang profan yang terletak pada inti tiap-tiap agama. Dari segi lain, pada tabu dapat dilihat adanya bermacam-macam kelas yang dalam pengertian luas lagi dapat dibedakan dalam:
a.       Natural, alami dan langsung yaitu akibat dari ‘mana’ atau karena suatu kekuatan misterius yang ada pada seseorang mauun sesuatu benda.
b.      Tidak alami atau tidak langsung, sebagai akibat dari ‘mana’ tetapi lebih ditekankan pada yang didapat atau diperoleh atau yang diadakan, dibuat dan ditentukan oleh para pendeta atau para kepala suku, atau para syaman.
c.       Yang bersifat ‘perantara’ atau ‘penengah’, dimana kedua faktor tadi ada disini.[12]
Objek tabu ada banyak sekali, diantaranya yang paling penting adalah sebagai berikut:
a.       Tabu yang bersifat angsung yang ditujukan kepada:
1)        Perlindungan terhadap orang-orang yang penting seperti misalnya kepala suku, pendea syaman, dari benda-benda yang membahayakan,
2)        Perlindungan keselamatan terhadap orang-orang lemah terutama wanita dan anak-anak, juga orang kebanyakan pada umumnya, dari pengaruh magis mana yang ada pada orang-orang penting tadi,
3)        Perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang datang terutama yang ada kaitannya dengan jenazah-jenazah yang perlu perawatan sebaik-baiknya, dan juga terhadap makanan tertentu,
4)        Menjaga amal perbuatan yang utama dalam kehidupan ini seperti kelahiran, inisiasi, perawinan dan fungsi seksual terhadap hal-hal yang tidak sopan dan yang dianggap tidak semestinya,
5)        Perlindungan keamanan manusia terhadap kemurkaan roh-roh yang jahat.[13]
b.      Tabu diadakan supaya aman dari seseorang maupun sesuatu dan yang berkaitan secara individu.
Karena itu maka sebenarnya hukuman karena pelanggaran terhadap tabu sangat besar pengarunya terhadap ritus-ritus keagamaan. Dalam kepercayaan animis tabu dikaitkan dengan roh-roh yang mempengaruhi kehidupan sesorang maupun masyarakat. Dengan adanya pelanggaran terhadap tabu maka perlu ada upacara-upacara yang men’suci’kan  kembali. Akibat-akibat dari pelanggaran terhadap tabu banyak ditentukan dan sangat tergantung pada kuatnya pengaruh magis yang ada pada objek tabu baik seseorang maupun sesuatu benda, dan juga tergantung pada kuatnya mana yang ada pada pelanggaranya.
Lihat dari jenis-jenis yang ditabukan, maka tabu dapat dibagi dalam binatang-binatang, orang-orang tertentu, dan benda-bendalain. Dari ketiga-tiganya itu, maka binatang tampaknya merupakan yang dominan, sehingga dalam perkembangannya timbul larangan membunuh memakan dan mengambil darahnya yang kemudian membentuk ide sebagai inti dasar totemisme. Baru kemudian manusia merupakan salah satu corak objek tabu. Teori animis dalam berbagai bntuknya selama bertahun-tahun dapat bertahan tanpa tantangan, dan telah meninggalkan bekasnya pada semua literatur antropologi saat ini, sebagaimana, hanya sebagai satu contoh saja, yang kita lihat pada pembahasan yang luas dari dorman tentang agama orang-orang Indian Amerika, dimana tiap-tiap bentuk kepercayaan seperti totemisme, sihr, fetisisme.[14]
2.      Aspek-aspek sosial dalam totem dan tabu
Sama seperti halnya mana, maka totem dan tabu banyak diambil alih dn digunakan oleh para sarjana dalam suatu konteks yang lebih luas lagi. Keduanya, baik totem dan tabu mempunyai dimensi sosial maupun ritual. Aspek atau dimensi  sosial dari totem dan tabu tampak pada sikap-sikap tertentu terhadap kerabatan darah dan juga dalam aturan-aturan perkawinan dan keturunan.
Kita perlu mengingat bahwa totemisme mempunyai pengertian suatu bentuk masyarakat yang dibedakan oleh ciri-ciri tertentu sebagai berikut:
a.       Masyarakat tersusun dari clan-clan atau ikatan manusia yang dipersatukan oleh kekerabatan sekalipun sering kali meluas diluar batas-batas sku yang bersifat lokal.
b.      Clan tesebut dibedakan dengan bermacam-macam nama binatang, tumbuh-tubuhan atau fenomena alam lain seperti matahari, hujan, petir, dan bintang.
c.       Macam-macam objek yang diberi nama tersebut erat sekali hubungannya dengan anggota clannya tiap-tiap sesuatu yang erat hubungannya dengan objek baik binatang, tumbuh-tumbuhan maupun fenomena alam lain tadi dianggap termasuk dalam clan tersebut.
d.      Biasanya masing-masig objek tersebut merupakan objek emosi keagamaan yang masing-masingnya merupakan subjetab atau karangan tertentu.[15]
Lebih jauh lagi, anggota-anggota clan diberi hak dan memang berhak untuk saling mempertahankan, saling melindungi, dan ada ketentuan tidak diperkenankan untuk kawin dan melakukan hubungan seksual dalam satu clan yang sama, seperti aturan yang ada pada dasar kekerabatan.
Selain itu totemisme memberi pengertian bahwa hubungan satu suku dengan suku lainnya seluruhnya didasarkan pada totemisme.maka masuknya suatu kelompok tertentu ke dalam suatu totem berarti penggantian kekerabatan sedarah atau kekerabatan ras. Bila mana kita perlihatkan baik-baik, maka ini berarti bahwa kesatuan hidup dan kekuasaan hidup pada masyarakat primitif animis sangat tergantung pada totem,dan sebaliknya, pada totem berlaku tabu yang mencegah dan melarang suku menyakiti dan membunuh binatang totem. Dan pada beberapa suku  di Australia secara jelas timbul anggapan bahwa binatang-binatang totem itu adalah nenek moyang atau leluhur suatu suku. Pelestarian kepercayaan ini kita temukan dalam beberapa mite yang tampaknya membuktikan hubungan erat antara totemisme dengan pemujaan terhadap nenek moyang atau leluhur.
Dalam kepercayaan primitif animis dapat kita lihat adanya aspek sosial dalam masalah perkawinan. Dalam hal ini harus kita ingat bahwa dapat dikatakan di mana totemisme sangat menonjol, pasti ada aturan dan ketentuan bahwa anggota-anggota totem yang sama tidak diperbolehkan dan dilarang saling melakukan hubungan seksual satu dengan yang lain, artinya mereka tidak diperbolehkan melakukan hubungan perkawinan. Ini menunjukan bahwa eksogami ada kaitannya dengan totem. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa:
1.      Pelanggaran terhadap larangan tadi bukannya merupakan suatu hukuman seketika, akan tetapi lebih merupakan tuntutan bela oleh seluruh suku karena akan timbulnya suatu petaka dan bencana yang mengancam masyarakat totem tersebut.
2.      Hukuman yang sama juga diterapkan dan diperlakukan terhadap orang-orang yang terlibat dalam percaturan percintaan yang tidak membuahkan kelahiran anak.
3.      Totem merupakan ikatan nasab keturunan dan tidak berubah oleh perkawinan, maka sebaliknya, akibatnya lalu terasa bahwa garis dari pihak ibu lebih menonjol.
4.      Peranan binatang totem sebagai nenek moyang atau sebagai leluhur sangat ditekankan.[16] Semua keturunan dari totem yang sama adalah bertalian keluarga dan bertalian darah artinya merupakan suatu keluarga, dan dalam hubungan kekeluargaan seperti ini, salah satu hubungan yang terlarang adalah melakukan hubungan seks.

Garis-garis yang dapat dikawini dalam suatu totem dapat digambarkan sebagai berikut:

PHRATRIES
                        A                                                                     B


            C                     D                                             C                     F

AA    BB   CC                        DD    EE   FF             1   2     3                      4   5    6
kedua belas kelompok totem terbagi dalam empat subklas dan dua kelas utama, semuanya eksogamus. Subklas e membentuk suatu unit eksogami dengan e, demikian juga subklas d dengan subklas f. Anak keturunannya sudah mempunyai batasan hubungan darah yang agak longgar. Dalam hal ini, maka setiap anggota suatu kelompok akan mempunyai 11/12 wanita-wanita suku yang dapat diambil sebagai istri. Dengan adanya dua phratries maka mengurangi jumlah tersebut menjadi 6/12 atau 1/2 nya saja. Maka orang dalam totem x a hanya boleh kawin dengan wanita dari grup 1 sampai dengan 6. Maka dengan adanya dua subklas maka pemilihan atau pengambilan istri menurun menjadi 3/12 atau 1/4, laki-laki dari totem a harus membatasi hubungan perkawinannya dengan orang wanita dari totem 4, 5, dan 6.[17]
Pada masyarakat primitif animis, ekspresi eksogami ini tampak dalam pergaulan sehari-hari antara wanita dan laki-laki. Dalam bukunya Totemism and Exogamy, Frazer mengemukakan bahwa pada suku baronga di Afrika, terdapat larangan keras bagi saudara-saudara ipar baik istri adik maupun istri kakaknya untuk saling bertemu. Bilamana seseorang laki-laki bertemu dengan saudara iparnya, maka dia harus menghindari pertemuan tersebut. Demikian juga dia tidak boleh makan bersama-sama dengannya, tidak boleh memasuki gubug apalagi kamarnya. Kalau terpaksa berbicara dengannya maka hendaklah berbicara secukupnya saja.
Larangan seperti diatas juga berlaku dalam hubungan sosial antara seorang istri dengan ayah mertuanya. Namun hal ini tidak bersifat serius. Sebenarnya bukan hanya istri terhadap mertuanya saja, juga sebaliknya seorang suami juga harus menghindari pertemuan dengan ibu mertuanya demikian pula seorang ibu mertua harus menjauhi pertemuan dengan menantu laki-lakinya. Dalam hubungannya dengan sosial politik, pada suku primitif animis kita dapatkan adanya totem dan tabu sebagai suatu pola. Susunan dan penetapannya tentang totem dan tabu erat sekali dengan keseluruhan struktur sosial kelompok totem. Seorang kepala suku, bersifat sakral bukan hanya karena alasan-alasan keagamaan saja. Tetapi posisis sosial dan politiknya ditentukan dan diberi sangsi oleh susunan tabu.
3.      Aspek Ritual dalam Totem dan Tabu
Aspek ritual dalam totem dan tabu ini tampak dalam adanya larangan dan sanksi melakukan suatu yang telah ditetapkan oleh masyarakat totem dimana pelanggaran terhadap ketetapan dan ketentuan ini akan membawa akibat yang merugikan, baik bagi yang bersangkutan itu sendiri maupun bagi masyarakat seluruhnya. Pelanggaran-pelanggaran ini akan berkurang sanksi atau akan terhapus jika dilakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.
Dalam masyarakat primitif animis makna tabu terbagi dalam dua arah yang berlawanan. Pada suatu segi berarti sakral, suci tetapi pada segi lain berarti bahaya, terlarang dan kotor, keji. Sebagai lawan kata tabu dalam konsep asli bahasa polinesia adalah Noa yang memberi pengertian lumrah, wajar, layak dan dapat diterima. Tabu dalam pola hidup masyarakat primitif animis tampak jelas dalam larangan-larangan dan batas-batas paugeran. Dalam hubungannya dengan aspek ritus keagamaan dalam tabu yang terdapat pada masyarakat tersebut, batasan larangan dan paugeran mempunyai corak khas karena dalam tabu kurang tegas masalah keadilan dan sanksinya dan sumbernya pun tidak menentu. Karena itu sering dikatakan bahwa tabu adalah kode hukum manusiawi yang tertua dan tidak tertulis. [18]
Dari segi lain, pada masyarakat primitif animis ini kita dapatkan bahwa tabu banyak ditujukan kepada:
a.       Terhadap musuh
Dalam hal ini tidak dapat dilepaskan dari larangan membunuh totem baik binatang totem itu sendiri maupun orang-orang dalam kelompok totem tersebut. Karena itu terdapat peraturan yang erat dengan masalah adat, dimana peraturan tadi merupakan usaha untuk perdamaian kembali dengan musuh.
b.      Terhadap kepala suku
Perilaku orang primitif animis terhadap kepala suku, pendeta, atau dukun atau kepala keagamaan diatur oleh dua hal yang saling melengkapi, yang tampak dalam aturan tentang tabu. Seprti diketahui, semua hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan hal-hal yang tidak suci, kotor, keji, harus dihindari dan dijauhi, kalau tidak dapat, maka harus dilakukan upacara-upacara tertentu supaya bersih dan suci. Pada tokoh-tokoh ini baik kepala suku maupun kepala keagamaan, dukun, syaman dikenakan tabu. Mereka ditabukan naik kendaraan tertentu, mengendarai binatang-binatang tertentu, tidak boleh memakai pakaian-pakaian tertentu, tidak boleh melihat dan mengenakan benda-benda tertentu, pada waktu-waktu yang telah ditentukan tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan tertentu dan seterusnya. Kalau sangat terpaksa harus melakukan upacara-upacara tertentu supaya tidak membahayakan.
c.       Terhadap hal-hal yang erat hubungannya dengan inisiasi kehidupan
Banyak sekali tabu yang berhubungan dengan dengan inisiasi kehidupan manusia seperti misalnya kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kelahiran.
d.      Terhadap orang-orang yang mati
Orang-orang yang mati dikalangan primitif animis sering diperlakukan sebagai musuh yang roh-rohnya mungkin akan menuntut balas ketidakpuasan atas perlakuan orang-orang yang hidup bersamanya sebelum dia mati. Karena itu bagi orang yang mengadakan kontak dengan orang mati terdapat beberapa tabu. Misalnya, setelah selesai mengubur mayat orang yang terlibat dalam upacara penguburan dikenakan tabu tertentu.
e.       Terhadap makanan tertentu
Dalam hal ini terutama kita harus mengingat kembali bahwa dalam kekerabatan  totem terdapat pantangan memakan binatang yang ditotemkan. Dalam beberapa literatur ini sering disebut dengan ‘nagual’. Selain itu juga terdapat pantangan memakan daging binatang tertentu yang bukan karena itu sebagai binatang totem, melainkan hanyalah dikarenakan binatang tersebut dianggap keramat, seperti misal lembu/sapi adalah binatang yang ditabukan untuk dimakan dagingnya karena dianggap keramat oleh beberapa suku di India.[19]

4.      Penyebaran totem dan tabu
Di Amerika Utara, totem dan tabu tersebar luas dibarat laut dataran-dataran, disebelah timur dihutan-hutan kayu, disebelah tenggara dan barat daya, dan di beberapa suku yang ada di California. Totem dan tabu juga banyak ditemukan pada beberapa suku indian Meksiko. Yang sangat merata adalah di Amerika Selatan.[20]
Di Afrika banyak terdapat dikawasan teritorial yang luas antara sahara dan padang pasir Calahary. Di Madagaskar, totem dan tabu tersebar pada beberapa suku saja. Di India hampir lebih dari separuh suku-suku primitif animis kepercayaan totemis dan tabu terdapat hampir diseluruh masyarakat. Di Australia, totem dan tabu merata, hanya sedikit saja suku-suku yang tidak bekepercayaan totemis seperti misalnya didaerah-daerah pantai, di Australia sebelah timur, sebelah selatan dan sedikit di sebelah barat. Di Polinesia, sangat merata dan bahkan hampir disemua suku terdapat keprcayaan totem. Di Indonesia sendiri, tabu sangat merata dikalangan suku-suku primitif animis Kalimantan, Sulawesi, Irian, dan Jawa. Di pulau Seram terdapat upacara memasuki perserikatan kakean, yaitu perserikatan para lelaki di tiga sungai yaitu tala, eti, dan sopawala. Sekembali mereka mengikuti upacara tersebut, mereka dalam keadaan tabu. Kepala mereka tidak boleh dijamah oleh siapapun dan rambutnya harus dibiarkan saja, tidak boleh disisir apalagi digunting. Pelanggaran terhadap ini akan membawa petaka bagi manusia.





























BAB III
KESIMPULAN

Animisme berasal dari kata anima, animae dari bahasa latin ‘animus’ dan bahasa yunani ‘avepos’, dalam bahasa sanskerta disebut ‘prama’ dalam bahsa ibrani disebut ‘ruah’ yang artinya ‘napas’ atau ‘jiwa’. Menurut kuncoroningrat bahwa animisme adalah kepercayaan yang menganggap bahwa semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan ghaib atau memiliki roh yang berwatak baik mapun buruk.
Sama seperti halnya mana, maka totem dan tabu banyak diambil alih dn digunakan oleh para sarjana dalam suatu konteks yang lebih luas lagi. Keduanya, baik totem dan tabu mempunyai dimensi sosial maupun ritual. Aspek atau dimensi  sosial dari totem dan tabu tampak pada sikap-sikap tertentu terhadap kerabatan darah dan juga dalam aturan-aturan perkawinan dan keturunan.
Aspek ritual dalam totem dan tabu ini tampak dalam adanya larangan dan sanksi melakukan suatu yang telah ditetapkan oleh masyarakat totem dimana pelanggaran terhadap ketetapan dan ketentuan ini akan membawa akibat yang merugikan, baik bagi yang bersangkutan itu sendiri maupun bagi masyarakat seluruhnya. Pelanggaran-pelanggaran ini akan berkurang sanksi atau akan terhapus jika dilakukan upacara-upacara sebagaimana mestinya.











DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainal, 1984, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, Jakarta: Pustaka Al-husna.
Beals, Ralph L., & Harry Hoijer, 1965, An Introduction To Anthropology. New York: The Macmillan Company.
Darajat , Zakiah, dkk., 1996, Perbandingan Agama1, Jakarta: Bumi Aksara.
Jamil , Abdul, 2000, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media.
Jr, A.G. Honing., 1993, Ilmu Agama, terj. M. D. Koesoemosoesastro dan Soegiarto. Jakarta: Gunung Mulia.
Kardiner, Abram, 1939, The Individual And His Society, New York: Columbia University Press    .
Kuncoroningrat, 1954, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta: Jembatan.
Pritchard, E.E. Evans, 1984, Teori-Teori Tentang Agama Primitif, Yogyakarta: PLP2M.
Rohman, Abujamin, 1991, Agama Wahyu Dan Kepercayaan Budaya, Jakarta: Budaya.
Saksono , Ign Gatut, 2014, Tuhan Dalam Bahasa Jawa, Yogyakarta: Kaliwangi.
https://teraskita.wordpress.com/category/teras-kita/page/2/ diakses tanggal 20 april 2017 jam 21.00 wib




[1]Zakiah Darajat, dkk., Perbandingan Agama1, (jakarta: Bumi Aksara,1996), hlm. 24.
[2]Kuncoroningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (yogyakarta: Jembatan, 1954), hlm. 103
[3]Ign Gatut Saksono, Tuhan Dalam Bahasa Jawa, (Yogyakarta: Kaliwangi, 2014), hlm. 65
[4]H. Abdul Jamil, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 6.
[5]Zakiah Darajat, dkk., Perbandingan Agama1, hlm. 6.
[6]Zainal Arifin, Perkembangan Pikiran Terhadap Agama, (Jakarta: Pustaka Al-husna, 1984), hlm. 178.
[7]Abujamin Rohman, Agama Wahyu Dan Kepercayaan Budaya, (Jakarta: Budaya, 1991), hlm. 58.
[8]Zakiah Darajat, dkk., Perbandingan Agama1, hlm. 50.
[9]A.G. Honing Jr., Ilmu Agama, terj. M. D. Koesoemosoesastro dan Soegiarto. (Jakarta: Gunung Mulia, 1993), hlm. 55.
[10]Zakiah Darajat, dkk., Perbandingan Agama1, hlm. 51.
[11]Abram Kardiner, The Individual And His Society, (New York: Columbia University Press, 1939), hlm. 158-159.
[12]Zakiah Darajat, dkk., Perbandingan Agama1, hlm. 52-53
[13]Ibid., hlm. 53                                                                                
[14]E.E. Evans Pritchard, Teori-Teori Tentang Agama Primitif, (Yogyakarta: PLP2M, 1984), hlm.
[15]Zakiah Darajat, dkk., Perbandingan Agama1, hlm. 57.
[16]Ibid., hlm. 59.
[17]Zakiah Darajat, dkk., Perbandingan Agama1, hlm.60.
[18]Zakiah Darajat, dkk., Perbandingan Agama1, hlm. 62-63.
[19]Zakiah Darajat, dkk., Perbandingan Agama1, hlm. 63-69.
[20]Ibid., hlm. 70.

Komentar

  1. Mystino: 20 Free Spins No Deposit for Slots & Casino Games
    Mystino Casino vua nhà cái is an online casino that gives a great new way to experience the thrill クイーンカジノ of the Vegas ミスティーノ casino experience online.

    BalasHapus
  2. Merkur 37C Safety Razor Review – Merkur 37C
    The Merkur 37c is novcasino an excellent short handled DE safety razor. 토토사이트 It ventureberg.com/ is more suitable for both heavy and non-slip hands and is deccasino therefore a great option herzamanindir.com/ for experienced

    BalasHapus

Posting Komentar